Fasciola pada sapiiii...

PENDAHULUAN

Latar belakang
Ternak merupakan hewan yang sengaja dipelihara sebagai sumber pangan, sumber bahan baku industri, atau berperan dalam membantu pekerjaan manusia. Hewan ternak yang banyak dikembangkan manusia adalah unggas dan ruminansia. Berdasarkan ukuran, bobot badan, atau besar tubuhnya, ruminansia terbagi menjadi ruminansia besar dan ruminansia kecil. Ruminansia besar terdiri dari hewan sapi dan kerbau. Ruminansia besar menghasilkan karkas yang besar, berat, dan menghasilkan susu yang menjadi sumber protein utama manusia.
 Tingginya permintaan daging menuntut peternak untuk meningkatkan produktifitas ternak yang dapat tercapai dengan penerapan manajemen peternakan yang baik. Manajemen peternakan terdiri dari seleksi bibit, pakan, kandang, sistem reproduksi dan kesehatan hewan. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan, dan peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan (Deptan 2001).
Adanya penyakit hewan merupakan hambatan optimalisasi produksi, salah satunya adalah penyakit parasiter. Penyakit parasiter jarang menyebabkan kematian langsung, namun perjalanan penyakit umumnya bersifat kronis dan mengakibatkan penurunan berat badan ternak, penurunan produksi susu, kualitas daging, kulit, jeroan, serta risiko zoonosis yang selanjutnya akan menimbulkan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar. Fasciolosis adalah salah satu penyakit kecacingan yang sering menyerang sapi dan kerbau. Fasciolasis disebabkan oleh cacing Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang biasa menyerang organ hati (liver fluke). Kedua cacing ini memiliki habitat dan induk semang antara yang berbeda pula. Selain itu terdapat cacing dari jenis trematoda lain yang hidup dapat menyebabkan fasciolosis pada manusia, yaitu Fasciolopsis buski dan cacing ini menyerang usus manusia dan babi, sehingga disebut intestinal fluke (Widjajanti 2004).
Fasciolosis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica (Widjajanti 2004). Menurut Suhardono (1997) prevalensi fasciolasis pada ternak di Jawa Barat mencapai 90% dan menurut Estuningsih et al. (2004) di Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90%, sedangkan prevalensi fasciolosis pada kerbau di Indonesia sebesar 77%. Secara klinis kecacingan menyebabkan kehilangan cairan tubuh, penurunan daya tahan tubuh, penurunan bobot badan yang mencapai 20% dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan kerugian baik oleh peternak maupun kerugian bagi produksi daging nasional.

Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menguraikan infeksi fasciolosis pada ruminansia besar, mengetahui pencegahan, pengobatan termasuk cara mencegah penyebaran penyakit tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi
Fasciolosis pada sapi dan kerbau merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing genus Fasciola yaitu Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica. Cacing yang hidup di daerah sub tropis dan tropis seperti di India, Jepang, Filipina, Kamboja, dan Indonesia adalah Fasciola gigantica dari kelas trematoda (cacing pipih) dan famili Fasciolidea. Hal ini dikarenakan inang antara yang berperan dalam siklus hidup Fasciola hepatica yaitu Lymnea truncatula tidak ditemukan di Asia, sedangkan inang antara Fasciola gigantic yaitu Lymnea rubiginosa merupakan siput endemik di Indonesia.
Secara morfologi Fasciola gigantica berbentuk daun, berwarna cokelat keabu-abuan, berukuran panjang 3,5-7,5 cm dan lebar 0,65-1,2 cm (ACIAR 2003). Cacing ini memiliki dua batil hisap ventral (acetabulum), serta batil hisap oral (oral sucker) yang berfungsi sebagai lubang mulut.

Patogenesis
Cara penularan Fasciola melalui induk semang antara yaitu siput genus Limnea, di Indonesia diperantarai oleh Limnea rubiginosa. Fasciola dewasa hidup dalam duktus empedu dan kantung empedu dan fasciola muda hidup di jaringan hati. Telur fasciola masuk melalui duodenum bersamaan dengan empedu dan diekskresikan melalui feses host. Keadaan lingkungan juga mempengaruhi perkembangan dan penetasan telur. Pada suhu 20-26°C telur akan menetas dalam waktu 10-12 hari dan mengasilkan larva stadium pertama (mirasidium). Pada suhu lebih dari 40°C telur akan mati dan warna berubah kehitaman, meskipun perkembangan telur tetap berlangsung namun mirasidium tidak dapat keluar dari telur. Mirasidium berukuran 0,15 mm, pada bagian kepala mirasidium dilengkapi jaringan untuk penetrasi pada siput dan berenang di air dengan menggunakan silia yang menutupi tubuhnya. Di lingkungan mirasidium dapat bertahan selama 2-3 jam jika tidak, maka mirasidia akan mati. Bila bertemu dengan siput, mirasidium menembus jaringan siput membentuk sporosis. Pada stadium lebih lanjut, setiap sporosis akan terbentuk menjadi 5 – 8 buah redia yang selanjurnya akan membentuk serkaria. Serkaria meninggalkan siput dan dalam beberapa waktu menempel pada lingkungan termasuk tanaman air, kemudian setelah melepaskan ekornya serkaria akan membentuk kista (metaserkaria) yang merupakan stadium infektif cacing hati (Satrija et al. 2009). Ternak (sapi, kerbau, kambing, dan domba) akan terinfeksi apabila makan rumput yang mengandung metaserkaria. Setelah metaserkaria termakan oleh ternak, akan mengalami eksitasi dalam usus halus kemudian menembus usus bermigrasi dan tinggal dalam hati yang akan berkembang selama 5 – 6 minggu. Dalam tahap akhir larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk tumbuh menjadi dewasa (Satrija et al. 2009). Sapi dan hewan ternak lainnya terinfeksi melalui rumput yang dimakan, air yang mengandung metaserkaria dan pada beberapa kasus infeksi dapat terjadi transplasental. Terdapat dua rute migrasi larva ke hati, yaitu melalui ruang abdominal, penetrasi melalui kapsula hati, kemudian berpindah melalui parenkim hati dan dalam beberapa minggu fasciola dapat mencapai duktus empedu. Rute migrasi lainnya adalah terjadi eksitasi larva dalam duodenum dan larva fasciola masuk dalam aliran darah intestinal dan selanjutnya masuk ke dalam duktus empedu. Perkembangan larva Fasciola menjadi Fasciola dewasa membutuhkan waktu 2,4-4 bulan dan Fasciola dapat bertahan hidup 3-5 tahun dalam tubuh hewan (ACIAR 2003).

Gejala Klinis 
Gejala klinis fasciolosis tidak patognomonis dan gejala umum yang terlihat adalah adanya gangguan pencernaan berupa konstipasi/ sembelit kemudian disertai dengan adanya daire (mencret), kurus, lemah, bulu berdiri, depresi, kesulitan bernafas, anemia, selaput lendir pucat kekuningan, kekurusan, terjadi busung (oedema) di bawah rahang dan bawah perut.

Diagnosis
Penentuan diagnosa fascioliasis diketahui melalui gejala klinis, pengetahuan epidemiologi penyakit, dan dibuktikan dengan ditemukannya telur Fasciola, yang dapat dilakukan dengan metode sedimentasi. Pada hewan yang berkelompok, diagnosa juga diperkuat dengan kerusakan hati salah satu hewan yang mati dengan melalui proses nekropsi. Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula untuk ketepatan diagnosa. Telur fasciola mirip dengan paramphistomum. Untuk membedakannya, selain mengingat ukuran besarnya telur, telur fasciola lebih kecil dari pada paramphistomum, dinding telur fasciola lebih tipis sehingga mudah menyerap zat warna empedu, yodium, atau metilen biru. Selain itu didalam paramphistomum biasanya lebih jelas sel–sel embrionalnya daripada dalam telur fasciola. Pada sapi dan kerbau yang menderita penyakit kronik memiliki gejala klinis yang sama seperti penyakit lain misalnya defesiensi nutrisional (Cu atau Co), paratisisme oleh cacing lain, anaplasma, piroplasma, maupun penyakit paratuberkulosis. Temuan telur fasciola dan perubahan patologi hati, termasuk temuan cacing fasciola merupakan kunci untuk penentuan diagnosa fasioliasis

Pengobatan
Secara umum pengobatan dilakukan selama 3 kali pemberian yaitu pada awal, petengahan, dan akhir musim penghujan. Obat-obatan yang diberikan antara lain:
Dovenix ( bahan aktif: Nitroxynil ), dosis: 10 mg/kg berat badan (1 ml untuk 25 Kg berat badan) diberikan secara Subcutan.
Bilevon (bahan aktif: Meniclopholan), dosis 3 mg/kg berat badan diberikan peroral.
Monil ( bahan aktif: Albendazole ), diberikan secara per-oral dengan dosis:
             Sapi dengan berat badan < 150 kg : 1,5 bolus.
             Sapi dengan berat badan 150 – 300 kg : 3 bolus.
             Sapi dengan berat badan 300 – 400 kg : 4 bolus.
             Sapi dengan berat badan > 400 kg : 5,5 bolus.
Carbontetrachlorida, dosis : 50 mg/kg berat badan diberikan secara sub kutan, atau 1- 5 ml/ ekor diberikan secara peroral.

Pencegahan
Memberantas induk semang perantara / siput (memotong siklus hidup cacing) dengan penggunaan Mollusida (secara kimiawi). Memberantas siput secara biologis dengan pemeliharaan itik, rotasi lapangan rumput, perbaikan sistim pengairan supaya memungkinkan diadakan pengeringan, ternak sakit jangan dilepas di padang penggembalaan atau jangan melepaskan ternak sehat di padang penggembalaan yang tercemar.
Mollusida yang dapat dipergunakan antara lain :
Natrium pentachloropenate, dengan dosis : 9 Kg di dalam 3.600liter air untuk tiap hektar
Cooper pentachloropenate, dengan dosis 9 Kg di dalam 3.600 liter air untuk tiap hektar.
Bayer 73 (2 g – hydroxy – 5, 2 dichloro – 4 diniter benzanilide), dengan dosis 2 gram di dalam 2.000 liter air untuk tiap hektar. Mollusida tersebut diatas hendaknya disemprotkan sewaktu lapangan berair. Selanjutnya selama 3 - 5 hari lapangan tidak boleh dipakai untuk penggembalaan.

Hubungan Kesehatan Masyarakat
Ternak dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi. Pemotongan ternak harus dibawah pengawasan Dokter Hewan berwenang atau petugas kesehatan hewan/ petugas RPH. Hati ternak yang terserang Fasciola akan mengalami kerusakan, oleh karena itu hati yang rusak dibuang, sedang bagian hati yang baik dapat dikonsumsi.

SIMPULAN
Fasciola gigantica merupakan parasit yang cukup potensial menyebabkan fascioliasis. Cacing ini banyak menyerang hewan ruminansia yang biasanya memakan rumput yang tercemar metacercaria, tetapi dapat juga menyerang manusia. Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan siklus hidup agen penyebab penyakit tersebut. 

DAFTAR PUSTAKA 
[ACIAR]. 2003. Technology Implementation Procedure Fasciolosis of Cattle and Buffaloes and Its Control Measures. [terhubung berkala] http://aciar.gov.au/ system/files/node/9010/MN133%20part%206.pdf. Australia: Australian Center for International Agricultural Research.
[Deptan]. 2001. Beberapa Penyakit pada Ternak Ruminansia Pencegahan dan Pengobatannya. Mataram: Departemen Pertanian
Estnuningsih SE, Adiwinata G, Widjajanti S, Piedrafita D. 2004. Pengembangan teknik diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan antibodi monoclonal dalam capture ELISA untuk deteksi antigen. Seminar Nasional Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. 20-21 April, Bogor.
Satrija F, Retnani EB, Ridwan Y. 2009. Buku ajar: Kecacingan pada ruminansia plathyhelmintes. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Suhardjono. 1997 . Epidemiology and control of fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java. PhD. [thesis]. James Cook University of North Queensland, Australia.

Widjajanti S. 2004. Fasciolosis pada Manusia: Mungkinkah Terjadi di Indonesia. Wartazoa vol. 14 No. 2 Th. 2004.

Comments

Popular Posts