CRIMEAN-CONGO HEMORRHAGIC FEVER


PENDAHULUAN
Penyakit eksotik adalah penyakit hewan yang belum pernah ada di Indonesia. Contoh penyakit eksotik adalah Crimean-Congo hemorrhagic fever (CCHF). Penyebaran penyakit ini lebih banyak di wilayah Afrika dan Asia Barat. CCHF disebabkan oleh agen virus dan ditularkan melalui caplak (genus Hyalomma). Caplak ini tersebar di Afrika Tengah, Afrika Utara, Madasgaskar, dan Asia termasuk Indonesia. Keberadaan caplak ini dikhawatirkan dapat menyebarkan agen virus CCHF jika virus telah masuk ke wilayah Indonesia. Gejala yang timbul pada manusia akibat penyakit CCHF lebih parah dibandingkan gejala yang timbul pada hewan. Kondisi ini mengharuskan kita lebih waspada terhadap ancaman penyakit CCHF karena bersifat zoonosis. Zoonosis didefinisikan sebagai infeksi atau penyakit infeksius apapun yang dapat menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya (Timmreck 2004).
Lalu lintas hewan dan produk asal hewan antar negara akan membawa risiko masuknya penyakit hewan ke wilayah baru termasuk Indonesia. Upaya pencegahan masuknya penyakit CCHF di Indonesia adalah dengan mengatur kebijakan keamanan pangan dan perlindungan kesehatan hewan serta memberikan edukasi untuk meningkatkan kepedulian masyarakat. Salah satu bentuk edukasi dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang jelas dan detail terkait penyakit CCHF (penyebab penyakit, cara penyebaran, hewan dan manusia berisiko, gejala yang timbul, pencegahan dan pengobatan).

SINONIM
Congo Fever, Central Asian Hemorrhagic Fever, Hungribta (blood taking), Khunymuny (nose bleeding), Karakhalak (black death).

PENYEBAB
Agen Penyebab
Crimean-Congo hemorrhagic fever (CCHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Crimean-Congo hemorrhagic fever. Virus ini berasal dari genus Nairovirus yang termasuk dalam famili Bunyaviridae (Whitehouse 2004).

Karakteristik agen
Virus CCHF mempunyai beberapa karakteristik yaitu tidak dapat bertahan terhadap desinfektan seperti formalin. Virus CCHF juga tidak dapat bertahan pada suhu tinggi (500 C selama 30 menit atau 600 C selama 15 menit), sinar ultraviolet (UV), dan pada lingkungan dengan pH kurang dari 6 (Krauss et al. 2003). Virus stabil pada kondisi basah (370 C selama 7 jam, 200 C selama 11 hari, dan 40 C selama 15 hari), pada kondisi kering (90 menit sampai 24 jam), dan dalam etanol 40% selama 20 menit  (Hardestam et al. 2007).

Siklus hidup agen
Proses perbanyakan (replikasi) virus CCHF diawali dengan menempelnya virus pada sel tubuh hewan atau manusia. Virus kemudian masuk ke dalam sel dan memperbanyak diri. Virus baru yang terbentuk lalu keluar dari sel tubuh dan masuk ke aliran darah (Whitehouse 2004).

SUMBER INFEKSI DAN CARA PENULARAN
Induk Semang Definitif
Virus CCHF menyebabkan penyakit pada hewan peliharaan maupun satwa liar terutama ruminansia (sapi, kerbau, domba, kambing) dan burung unta. Virus CCHF juga dilaporkan telah ditemukan pada sejumlah hewan seperti kelinci, landak, anjing, mencit (Mastomys spp),. kuda, keledai, babi, badak, jerapah, dan pada reptil seperti kura-kura. Sebagian besar unggas tahan terhadap penyakit ini kecuali burung unta (CFSPH 2009).

Induk Semang Antara
Vektor virus CCHF adalah caplak dari genus Hyaloma. Salah satu jenis caplak yang termasuk ke dalam genus ini adalah Hyalomma marginatum. Caplak ini berperan sebagai pembawa virus (vektor mekanik) dan menularkan virus melalui gigitan (CFSPH 2009). 

Penularan pada Hewan
Beberapa hewan peliharaan dan satwa liar dapat tertular virus CCHF. Hewan yang telah tertular virus CCHF dapat kembali menularkan virus ini pada hewan lainnya melalui gigitan caplak (CFSPH 2009). Penyebaran virus CCHF melalui burung-burung migran sangat mungkin terjadi jika pada burung tersebut terdapat caplak yang membawa virus CCHF (Zavitsanou 2009).

Penularan pada Manusia
Manusia dapat tertular oleh virus melalui kontak langsung pada luka yang terbuka dengan darah atau kelenjar dari hewan yang menderita penyakit CCHF. Manusia juga dapat tertular melalui gigitan caplak yang membawa virus CCHF. Kebanyakan kasus terjadi pada manusia yang bekerja di industri peternakan seperti petani, pekerja kandang, dan dokter hewan. Penularan penyakit ini juga dapat melalui peralatan rumah sakit seperti jarum yang mengandung virus CCHF (CFSPH 2009).

GEJALA PENYAKIT PADA HEWAN
            Virus CCHF pada hewan tidak menimbulkan gejala yang khas (Soeharsono 2002; Acha et al. 2003). Gejala yang terlihat pada sapi dan domba yang sengaja ditularkan melalui percobaan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu tubuh (CFSPH 2009).

GEJALA PENYAKIT PADA MANUSIA
            Penyakit CCHF pada manusia menunjukkan gejala yang kurang khas seperti demam yang sangat tinggi secara mendadak, menggigil, sakit kepala, pusing, takut terhadap cahaya, nyeri leher, lemah otot (mialgia), dan lemah sendi (arthralgia). Gejala lain yang juga ditunjukkan pada manusia ialah gangguan saluran pencernaan (gastrointestinal) seperti mual, muntah, diare tidak berdarah, dan rasa nyeri pada bagian perut. Perubahan emosi dan rasa kebingungan secara cepat juga telah dilaporkan dalam beberapa kasus pada manusia. Perubahan lain yang teramati pada manusia yang tertular virus CCHF adalah gangguan sistem peredaran darah (kardiovaskular) seperti denyut jantung yang lambat (bradikardia) dan tekanan darah rendah (CFSPH 2009). Ergonul (2006) juga melaporkan bahwa perjalanan penyakit CCHF pada anak-anak lebih ringan kejadiannya dibandingkan pada orang dewasa.
Penularan CCHF terdiri dari empat periode, yaitu periode inkubasi, prehemoragik, hemoragik, dan pemulihan. Periode inkubasi adalah periode dari awal terkena penyakit hingga timbulnya gejala. Periode ini berkisar antara 2 sampai 9 hari. Periode prehemoragik terjadi kurang dari satu minggu. Pasien pada periode ini menunjukkan gejala yang tidak khas seperti demam tinggi, mialgia, ruam, sakit kepala, arthralgia, mual, rasa nyeri pada bagian perut, diare tidak berdarah, dan radang otak (encephalitis). Periode hemoragik terjadi lebih singkat yaitu sekitar 2 sampai 3 hari dan pada periode ini virus berkembang secara pesat. Periode ini ditandai dengan demam tinggi dan timbulnya pendarahan hebat seperti terdapat bintik-bintik perdarahan (petechiae), perdarahan selaput lendir dan konjungtiva, urinasi berdarah (hematuria), muntah darah (hematemesis), dan diare berdarah (melena) (Mardani & Jahromi 2007). Gejala hemoragik pada kulit manusia dapat dilihat pada Gambar 3.
Periode pemulihan dimulai sekitar 10 sampai 20 hari setelah munculnya gejala penyakit. Pada periode ini sering terlihat gejala seperti denyut jantung yang cepat (takikardia), rambut rontok, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, dan kehilangan ingatan (Mardani & Jahromi 2007). Periode pemulihan juga ditandai dengan gejala yang muncul seperti berkeringat, mulut kering, sakit kepala, mual, kurang nafsu makan dan kehilangan pendengaran (CFSPH 2009).

DIAGNOSTIK AGEN PENYEBAB
            Diagnosa dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidang ini seperti dokter hewan.

Diagnosa Agen Penyakit Pada Hewan
Penyakit CCHF dapat didiagnosa dengan cara mengambil virus dari darah atau jaringan dan menumbuhkannya pada media buatan untuk mendapatkan biakan virus murni (isolasi). Isolat virus sebaiknya diambil dari jaringan paru-paru, hati, limpa, sumsum tulang, ginjal, dan otak. Virus CCHF dapat diisolasi di dalam bermacam-macam sel. Kultur sel hanya dapat mendeteksi konsentrasi virus dalam jumlah yang tinggi dan teknik ini lebih bermanfaat sampai hari ke lima dari pertama kali sakit. Inokulasi virus pada mencit yang baru lahir akan lebih sensitif dibandingkan dengan inokulasi dalam kultur sel, sehingga dapat mendeteksi virus dalam periode yang panjang. Virus CCHF dapat juga diindentifikasi secara tidak langsung dengan menggunakan enzyme-linked immunoassay (ELISA) atau dengan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR). Isolasi virus harus dilakukan dalam maximum biocontainment laboratories (BSL-4). Diagnosa virus CCHF lebih sering dilakukan dengan menggunakan RT-PCR  karena memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan ELISA atau immunofluorescence assays (CFSPH 2009).

Diagnosa  Agen Penyakit pada Manusia
Teknik diagnosa penyakit CCHF yang dilakukan pada manusia hampir sama dengan teknik diagnosa pada hewan. Virus CCHF dapat juga didiagnosa dengan menggunakan uji serologi. Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi virus CCHF yang spesifik terhadap IgM atau untuk melihat kenaikan dari jumlah IgG dalam kejadian akut dan orang yang baru sembuh dari sakit. Perubahan IgG dan IgM juga dapat dilihat dengan menggunakan uji indirect immunofluorescence atau ELISA setelah 7 sampai 9 hari terinfeksi. Uji indirect flourescent antibodi hanya mendeteksi antibodi untuk periode yang singkat.  Uji serologi lain seperti complement fixation dan hemagglutination inhibition (HI) juga dapat digunakan dalam diagnosa virus CCHF pada masa lalu namun kurang sensitif. Pada kasus imunosupresi, paseien secara umum meninggal akibat kurangnya antibodi yang terbentuk (CFSPH 2009).

TINDAKAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
Tindakan Pada Hewan

            Tindakan pencegahan dan pengendalian yang dilakukan pada ternak adalah dengan menggunakan Acarides (bahan kimia pembasmi caplak). Acarides biasa digunakan pada ternak sebelum ternak disembelih dan diekspor (CFSPH 2007). Pada burung unta, penyakit dapat dicegah dengan memastikan bahwa burung unta terbebas dari caplak minimal 14 hari sebelum pemotongan. Zavitsanov (2007) menyatakan bahwa pada daerah dengan kasus CCHF yang sering terjadi (daerah endemik), masa karantina burung unta minimal 30 hari sebelum pemotongan (Zavitsanov 2009).

Tindakan Pada Manusia
   Manusia yang berada di daerah endemik penyakit CCHF harus menggunakan pelindung pribadi untuk meminimalkan kontak dengan caplak, yaitu dengan menggunakan pakaian berwarna terang agar caplak mudah terlihat, menutup kaki dan tangan, serta menggunakan obat anti caplak pada kulit (diethyltoluamide) dan pakaian (permethrin) (CDC 1995, WHO 2001). Manusia yang bekerja dengan ternak (tukang daging, petani, dokter hewan) di daerah endemik harus menggunakan pakaian tambahan untuk mencegah kontak langsung dengan darah, jaringan, dan sekresi dari pasien yang sakit (Chin 2000, WHO 2001).
   Hal yang harus dilakukan jika terjadi kontak dengan darah, jaringan, atau sekresi dari pasien yang sakit adalah melakukan penghitungan jumlah sel darah putih dan pemeriksaan biokimiawi darah selama minimal 14 hari setelah kontak dan meminum antibiotik ribavirin (Smego et. al. 2004). Selain menggunakan ribavirin, pada beberapa negara dilakukan vaksinasi dengan vaksin yang dikembangkan dari otak tikus. Pada tahun 1974, vaksin ini diberikan pada tenaga medis dan militer di daerah endemik CCHF dan memberikan efek baik dengan menurunnya kasus CCHF saat itu (Ergonul 2006).
   Virus CCHF dapat disebarkan melalui susu, karenanya tidak dianjurkan meminum susu yang tidak dipanaskan (dipasteurisasi). Pada daging, virus CCHF diinaktifkan karena proses pengasaman dan pemanasan saat dimasak.           

Tindakan pada Hewan dan Manusia
   Pasien yang dicurigai terinfeksi virus CCHF harus diisolasi dalam ruangan tersendiri dan bertekanan negatif. Tenaga medis yang menangani pasien harus menggunakan sarung tangan, masker, pelindung sepatu, dan kacamata (NIH 2002). Semua material sekali pakai seperti jarum suntik dan sarung tangan harus disterilisasi terlebih dahulu menggunakan alat khusus (autoclaf) sebelum dibakar. Peralatan medis juga harus disterilisasi sebelum digunakan kembali, sedangkan ruangan yang digunakan pasien harus didesinfeksi dan difumigasi (Ergonul 2006).
   Pasien yang meninggal atau mati harus disiram menggunakan larutan desinfeksi (liquid bleach solution) 1:10 dan ditempatkan dalam tas plastik yang tertutup rapat. Alat transportasi yang digunakan untuk membawa pasien mati atau meninggal juga harus didesinfeksi menggunakan larutan tersebut, sedangkan pakaian pasien (manusia) yang meninggal harus dibakar (CDC 1998).

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Szyfres B, Bureau PAS. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals: Chlamydiosis, Rickettsioses, and Viroses. Washington DC: PAHO HQ Library Catalouging-in-Publication.
Chin J. 2000. Control of communicable disease manual. American Public Health Association, Washington DC 7th edition; 54.
[CDC] Centers for Disease Control. 1995. Management of patients with suspected hemorrhaghic fever-United States. MMWR (44): 475-79.
[CDC] Centers for Disease Control. 1998. Infection control for viral hemorrhagic feveres in African. Health care setting. WHO/EMC/EST/98.2.
[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2009. Crimean-Congo hemorrhagic fever. Lowa: College of Veterinary Medicine Lowa State University. [terhubung berkala]. www.cfsph.iastate.edu /Factsheets/.../crimean_congo_hemorrhagic_fever.pdf [15 Maret 2012].
Ergonul O. 2006. Crimean-Congo hemorrhagic fever. Lancet Infect Dis: 6 (4): 203-14.
Hardestam J, Simon M, Hedlund KO, Vaheri A, Klingstrom J, Lundkvist A. 2007. Ex vivo stability of the rodent-borne Hantaan virus in comparison to that of arthropod-borne members of the Bunyaviridae family. Applied and Environmental Microbiology, 73(8), 2547-2551.
Krauss H et al. 2003. Viral Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible from Animals to Humans 3rd ed. Washington DC: ASM Press.
Mardani M, Jahromi MK. 2007. Crimean-Congo hemorrhagic fever. Arch Iranian Med; 10 (2): 204 – 214.
[NIH] National Institute of Health. 2002. Case, definition, management and prevention of infectious disease. Disease early warning system (DEWS).
Smego RA, Sarwati AR, Siddiqui AR. 2004. Crimean-Congo hemorrhagic fever: Prevention and control limitations in a resource poor country. Clin Infect Dis (38): 1731-35.
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Whitehouse CA. 2004. Crimean-Congo hemorrhagic fever. Antiviral Research, 64(3), 145-160.
[WHO] World Health Organization. 2001. Crimean Congo hemorrhaghic fever. WHO fact sheets 2001. November: 208.

Zavitsanov A, Babatsikou F, Koutsi C. 2009. Crimean Congo hemorrhaghic fever: an emerging tick-borne. Health Science Journal (3): 10-18.  

Comments

Popular Posts