Hipokalsemia pada sapi

Hipokalsemia dapat disebut juga paresis puerpuralis, milk fever, calving paralysis, parturient paralysis, dan parturient apoplexy. Hipokalsemia adalah penyakit metabolisme pada hewan yang terjadi pada waktu atau segera setelah melahirkan yang manifestasinya ditandai dengan penderita mengalami depresi umum, tidak dapat berdiri karena kelemahan bagian tubuh sebelah belakang dan tidak sadarkan diri. Pada kasus hipokalsemia terjadi penurunan kadar kalsium darah dari jumlah normal 9-12 mg per 100 ml darah menjadi 3-7 mg per 100 ml darah (Hardjopranjoto 1995).  Biasanya kejadian ini menyerang sapi pada masa akhir kebuntingan atau pada masa laktasi.  Kasus ini sering dialami sapi yang sudah melahirkan yang ketiga kalinya sampai yang ketujuh. Tetapi di beberapa daerah ternyata penyakit ini ditemui juga pada sapi-sapi yang produksi tinggi dan terjadi ditengah-tengah masa laktasi ke tiga hingga ke lima.  Hardjopranjoto (1995) mengatakan bahwa biasanya kasus ini terjadi pada sapi perah setelah beranak empat kali atau lebih tua, jarang terjadi pada induk yang lebih muda atau sebelum beranak yang ketiga.  Subronto (2001) mengatakan bahwa beberapa kejadian disertai sindrom paresis yang terjadi dalam beberapa minggu atau beberapa bulan sesudah melahirkan. 
Penyebab terjadinya hipokalsemia secara pasti belum diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya hipokalsemia yaitu umur, kepekaan ras, ketidakseimbangan ransum, produksi susu yang tinggi, partus, dan kondisi stress.
Hipokalsemia lebih sering terjadi pada sapi yang berumur di atas 4 tahun, pada kelahiran ke tiga atau lebih. Kejadian ini jarang terjadi pada sapi yang berumur di bawah 4 tahun (Widyawati 2002). Faktor umur berhubungan dengan penurunan metabolisme tulang dan absorbsi saluran pencernaan. Jumlah kalsium yang dimetabolisme oleh tulang sejalan dengan bertambahnya umur. Jika umur bertambah maka jumlah kalsium yang disekresikan bersama feses meningkat dan absorbsi kalsium dari saluran pencernaan menurun karena waktu yang diperlukan kalsium untuk melewati saluran pencernaan menjadi lebih lama.
Hipokalsemia lebih sering terjadi pada sapi perah dengan produksi susu tinggi karena kalsium akan banyak disekresikan bersama susu. Jersey merupakan sapi yang sering terserang hipokalsemia diikuti dengan sapi Frisian Holstein dan bangsa lainnya (Hardjopranjoto 1995).
Kejadian hipokalsemia berhubungan dengan ketidakseimbangan mineral di dalam ransum pada masa kering kandang. Kelebihan kalsium dan kekurangan fosfor dalam ransum mendorong terjadinya hipokalsemia. Ransum dengan kalsium yang rendah dan fosfor yang tinggi dapat digunakan sebagai ramsum untuk mencegah kejadian hipokalsemia. Ransum dengan kadar kasium yang tinggi yang diberikan pada akhir kebuntingan akan menekan sekresi hormon paratiroid, sehingga pada saat kebutuhan kalsium meningkat secara tiba-tiba pada saat bunting, tubuh tidak dapat melakukan penyesuaian secara cepat untuk mencukupinya. Ransum yang baik adalah bila imbangan kalsium dan fosfor mempunyai perbandingan 2 banding 1. Ransum ini dianjurkan pada sapi perah menjelang partus (Hardjopranjoto 1995).
Partus dapat menginduksi terjadinya hipokalsemia. Menurut Hardjopranjoto 1995, hipokalsemia pada sapi perah yang baru melahirkan dan memiliki produksi susu tinggi terjadi karena beberapa sebab antara lain:
a.    Hormon parathyroid yang kadarnya mengalami penurunan dalam darah  (defisiensi), karena stres kelahiran dapat mengganggu keseimbangan mineral dalam darah khususnya kalsium disusul adanya hipokalcaemia dan selanjutnya timbul kasus paresis puerpuralis. 
b.    Stres melahirkan akan menyebabkan hormon tirokalsitonin menurun sehingga penyerapan mineral kalsium dari pakan juga mengalami penurunan dan mempengaruhi kadar kalsium dalam darah. Penurunan hormon tirokalsitonin dapat mengakibatkan menurunnya kadar kalsium dalam darah. Hormon tirokalsitonin atau kalsitonin dihasilkan oleh sel ultimobranchial C dari kelenjar tiroid.  
c.    Waktu proses kelahiran, kalsium dibutuhkan terlalu banyak oleh air susu, khususnya dalam kolostrum.  Kebutuhan ini dapat dicukupi dari ransum pakan ternak, dari tulang dalam tubuh induk atau dari darah.  Rendahnya penyerapan kalsium dalam ransum pakan atau absorbsi kalsium dalam saluran pencernaan, dapat disebabkan adanya gangguan pada dinding usus.  Penurunan nafsu makan pada induk yang sedang  bunting mengakibatkan masuknya bahan pakan menurun, menyebabkan penyediaan kalsium dalam alat pencernaan yang rendah diikuti oleh penyerapan kalsium juga rendah.  Daya menyerap dinding usus terhadap kalsium dapat menurun pada induk sapi yang sudah tua.  Pada sapi yang masih muda 80% kalsium dalam usus dapat diserap, makin tua umurnya makin menurun daya serap usus terhadap kalsium, karena pH usus yang tinggi dan kadar lemak yang tinggi dalam makanan dapat menghambat penyerapan kalsium.  Pada sapi yang sudah tua, penyerapan kalsium hanya mencapai 15% dari kalsium yang ada dalam pakan.
d.    Persediaan kalsium dalam tulang yang dapat dimobilisasi, bervariasi menurut umur sapi.  Pada anak sapi, 6-20% kebutuhan normal akan kalsium dapat disediakan oleh tulang, sedang pada sapi yang telah tua kemampuan tulang dalam menyediakan kalsium hanya 2-5%. 
e.    Vitamin D berperan dalam menimbulkan kasus paresis puerpuralis.  Gangguan terhadap produksi pro vitamin D dalam tubuh dapat mengurangi tersedianya vitamin D  dan dapat mendorong terjadinya penyakit ini, karena vitamin D mengatur keseimbangan kalsium dan posfor dalam tubuh dan proses deposisi atau mobilisasi kalsium dari tulang yang masih  muda.  Vitamin D yang aktif di dalam metabolisme kalsium dan fosfor adalah vitamin D3 (1,25-Dihidroxycholecalciferol).
f.     Hormon estrogen dan steroid yang lain baik yang dihasilkan oleh plasenta maupun kelenjar adrenal bagian korteks dapat menurunkan penyerapan kalsium dari usus atau mobilisasi kalsium dari tulang muda.  Pada sapi bunting aktifitas estrogen plasma meningkat sampai satu bulan sebelum melahirkan.  Peningkatan berlangsung dengan cepat satu minggu sebelum melahirkan untuk kemudian menurun tajam 24 jam sebelum melahirkan.
Kejadian hipokalsemia yang ditemukan dilapang terjadi pada hari keempat setelah sapi melahirkan. Sapi yang mengalami hipokalsemia memiliki produksi susu yang tinggi yaitu 18 liter per hari. Sapi ini berada pada masa laktasi keempat.
Pada awal penyakit hewan mula-mula terlihat gelisah, ketakutan dan nafsu makan menghilang.  Kemudian terlihat gangguan pengeluaran air kemih dan tinja.  Kadang-kadang terlihat tremor dan hipersensitivitas otot di kaki belakang dan kepala.  Hardjopranjoto (1995) mengatakan gejala pertama yang terlihat pada penderita adalah induk sapi mengalami sempoyongan waktu berjalan atau berdiri dan tidak adanya koordinasi gerakan dan jatuh.  Biasanya hewan akan selalu berusaha untuk berdiri.  Bila pada stadium ini dilakukan pengobatan maka gejala paresis tidak akan muncul.  Bila pengobatan belum dilakukan gejala berikutnya adalah sapi akan berbaring pada sebelah sisinya (lateral recumbency) atau pada tulang dada (sternal recumbency) dan diikuti dengan mengistirahatkan kepalanya dengan dijulurkan ke arah atas kedua kaki depan atau kepala diletakkan disebelah sisi dari tubuh  diatas bahu/scapula (kurva S). Pada beberapa sapi ada juga yang tidak disertai kurva S. Kemudian matanya menjadi membelalak dan pupilnya berdilatasi, kelihatan anoreksi, moncongnya kering dan suram, hewan tidak peka terhadap sakit dan suara, suhu rektal umumnya sub normal walaupun terkadang masih dalam batas normal, rumen dan usus mengalami atoni, anggota badan dingin, denyut jantung meningkat, defekasi terhambat dan anus relaksasi.  Bila pengobatan ditunda beberapa jam kemudian induk berubah menjadi tidak sadarkan diri dan kalau tidak ada pertolongan hewan bertambah depresi otot melemah dan berbaring dengan posisi lateral (tahap komatose).  Lama-kelamaan hewan tidak dapat bangun lagi dan akibat berbaring maka akan mengakibatkan timpani.  Pulsus meningkat  (sampai lebih dari 120 x/menit), pupil mata berdilatasi, kepekaan terhadap  cahaya menghilang dan akhirnya beberapa jam terjadi kematian.
Subronto (2001) mengatakan bahwa gambaran klinis milk fever yang dapat diamati tergantung pada tingkat dan kecepatan penurunan kadar kalsium di dalam darah.  Dikenal 3 stadium gambaran klinis yaitu stadium prodromal, berbaring (rekumbent) dan stadium koma. 
Stadium 1 (stadium prodromal) ditandai dengan kegelisahan dengan ekspresi muka yang tampak beringas.  Nafsu makan dan pengeluaran kemih serta tinja terhenti.  Meskipun ada usaha untuk defekasi akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.  Sapi mudah mengalami rangsangan dari luar dan bersifat hipersensitif.  Otot kepala maupun kaki tampak gemetar.  Waktu berdiri penderita tampak kaku, tonus otot alat-alat gerak meningkat dan bila bergerak terlihat inkoordinasi.  Sapi melangkah dengan berat, hingga terlihat hati-hati dan bila dipaksa akan jatuh, bila jatuh usaha bangun dilakukan dengan susah payah dan mungkin tidak akan berhasil.
Stadium 2 (stadium berbaring/recumbent) ditandai dengan sapi yang sudah tidak mampu berdiri, berbaring pada sternum dengan kepala mengarah ke belakang hingga dari belakang seperti huruf S.  Karena dehidrasi kulit tampak kering, nampak lesu, pupil mata normal atau membesar dan tanggapan terhadap rangsangan sinar jadi lambat atau hilang sama sekali.  Tanggapan terhadap rangsangan rasa sakit juga berkurang, otot jadi kendor, spincter ani mengalami relaksasi, sedang reflek anal jadi hilang dengan rektum yang berisi tinja kering atau setengah kering.  Pada stadium ini sapi masih mau makan dan proses ruminasi meskipun berkurang intensitasnya masih dapat terlihat.  Pada tingkat selanjutnya proses ruminasi hilang, nafsu makan pun hilang, dan penderita makin bertambah lesu.  Gangguan sirkulasi yang mengikuti akan terlihat sebagai pulsus yang frekuen dan lemah, rabaan pada alat gerak terasa dingin dan suhu rektal subnormal.
Stadium 3 (stadium koma) ditandai dengan sapi yang tampak sangat lemah, tidak mampu bangun, berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency).  Kelemahan otot-otot rumen akan segera diikuti dengan kembung, gangguan sirkulasi sangat nyata, pulsus jadi lemah (120 x/menit), dan suhu tubuh turun di bawah normal.  Pupil melebar dan refleks terhadap sinar telah hilang.  Stadium koma umumnya diakhiri dengan kematian, meskipun pengobatan konvensional telah dilakukan.
            Gejala klinis yang terlihat pada sapi yang mengalami hipokalsemia dilapangan adalah sapi yang ambruk, tidak dapat berdiri meskipun sudah diinduksi dengan elektrocoxer pada bagian gluteus. Sapi terlihat lesu, pupil mata masih normal, tanggapan terhadap rangsangan dan sinar menjadi lambat. Sapi tidak mau makan. Suhu tubuh masih normal yaitu 38°C. Sesuai dengan gejala klinis yang terlihat pada sapi ini berada pada kondisi hipokalsemia stadium 2. Cuping hidung masih basah, mukosa mata dan mulut berwarna rose. Frekuensi pernapasan naik 60 kali per menit, frekuensi napas normal adalah 20-30 kali per menit. Intensitas nafas dangkal dan cepat, ritme yang teratur. Pada auskultasi jantung intensitas lemah, ritmis, dan frekuensi 88 kali per menit. Frekuensi jantung yang normal adalah 40-70 kali per menit. Pemeriksaan sistem pencernaan secara inspeksi, palpasi, dan auskultasi didapatkan hasil saat dipalpasi terasa menegang, peristaltik rumen 3 kali per 5 menit, peristaltik rumen normal adalah 5-8 kali per 5 menit. Auskultasi pada rumen dan usus didapatkan suara peristaltik dan kontraksi pada usus. Sesuai dengan kondisi ini, maka sapi yang ditangani diduga mulai mengalami hipomotilitas rumen yang ditandai dengan penurunan frekuensi peristaltik rumen dan dinding rumen yang keras. Dinding rumen yang keras ini terjadi karena adanya distensi rumen akibat hipomotilitas sehingga terdapat akumulasi gas di dalam rumen. Jika kondisi ini tidak segera diatasi maka kondisi hipokalsemia akan diiringi dengan komplikasi timpani.
            Pengobatan yang dilakukan pada kasus hipokalsemia adalah dengan pemberian preparat kalsium. Preparat yang umum digunakan adalah kalsium boroglukonat yang bertujuan untuk mengembalikan kadar kalsium normal di dalam darah. Pemberian dapat dilakukan secara intravena seluruhnya atau setengahnya secara intravena dan sisanya secara subkutan, intramuscular, atau intraperitoneal. Pemberian preparat kalsium secara intravena dapat menyebabkan pasien lebih cepat pulih, akan tetapi pemberiannya harus dilakukan secara hati-hati, tidak boleh dilakukan terlalu cepat karena dapat menyebabkan takhikardia dan aritmia jantung yang dapat mengakibatkan kematian (Widyawati 2002).
            Hasil pengobatan akan memberikan hasil yang lebih baik dengan penambahan glukosa, magnesium, dan fosfor seperti magnesium hypofosfat 50 gram, glukosa 180 gram atau preparat lain seperti Ca, Mg, dan P. Kasus penyakit yang disertai dengan hipomagnesemia sebaiknya disuntik dengan kombinasi kalsium boroglukonat dan magnesium boroglukonat. Jika kasus hipokalsemia disertai ketosis maka pengobatan dilakukan dengan pemberian kalsium boroglukonat ditambah dengan dextrosa 50% sebanyak 250-500 ml secara intavena (Hardjopranjoto 1995). 
            Bila kalsium yang diberikan telah bekerja maka terlihat tanda-tanda pada sapi seperti mengeluarkan sendawa, gas rumen, dan defekasi. Selain itu juga dapat teramati telinga dan mata yang kembali dalam keadaan normal dalam waktu beberapa menit setelah pengobatan, respirasi kembali normal, peningkatan kekuatan denyut jantung dan diikuti dengan peningkatan nafsu makan (Widyawati 2002).

            Terapi yang diberikan pada kasus hipokalsemia di lapang adalah dengan pemberian infus dextrosa 40% sebanyak 500 ml secara intravena kemudian diikuti dengan pemberian cofacalcium® sebanyak 500 ml dengan diinfuskan melalui vena jugularis. Cofacalcium® mengandung kalsium glukonat, magnesium hipofosfat, dan asam borat. Pemberian dextrosa 40% hanya mencegah adanya komplikasi ketosis karena sapi yang menderita hipokalsemia terlihat kurus. Setelah dilakukan terapi sapi mampu berdiri dan sudah mau makan walaupun dalam jumlah yang sedikit. Keesokan harinya sapi tersebut diberikan terapi yang sama karena menurut anamnesa dari peternak bahwa sapi kembali ambruk. Setelah diberikan terapi yang sama sapi kembali bisa berdiri dan makan.

Comments

Popular Posts